Senin, 14 Oktober 2013

Jawaban dan Kabar Untuk Mu, Puteri.

Dear PrincesS.

Apapun yang terjadi saat ini, ku harap engkau selalu dalam lindungan, dan hidayah Allah Subhaanahu waa Ta’ala… amiin.

Maaf, jika kali ini aku mulai mengganggu mu lagi. Namun sungguh bukan itu maksud, dan tujuan ku.
Aku yakin kau mengerti.

Kemarin tanpa sengaja  aku melihat mu lagi, memakai baju coklat warna kesukaan kita. Meskipun sekejap namun sangat membekas.
Maaf jika terpaksa aku berpaling muka ketika melihat mu, atau melihat mu dengan tatapan yang kurang menyenangkan. Sungguh bukan karena aku membenci mu, karena dalam hati kecil ku selalu ingin melihat mu.
Aku hanya ingin menjaga mu - juga diri ku sendiri - dari penglihatan yang tak semestinya. Aku yakin kau memahami.

Aku bisa saja menemui mu, dan memberikan sesuatu yang berharga, atau sekedar kata2. Tapi,sungguh aku tak punya keberanian, dan tak sampai hati untuk mengkhianati Abah dan Ibu di ndalem sendiri. Sudah sangat banyak kesalahan ku kepada Beliau, semoga Beliau memaafkan ku. Semoga aku dan kamu selalu kuat bersabar, dan memegang teguh amanah, dan ajaran Beliau…amiin.

Namun jangan berpikir kalau kehadiran mu mengganggu ku, karena selamanya aku tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran mu. Sungguh.
Bahkan kehadiran mu sedari dulu kurasakan akan menjadi pelengkap hidup ku. Dan ku sadari jiwa mu adalah cerminan jiwa ku.
Sampai detik ini aku masih menyimpan semacam keyakinan bahwa masa indah akan terajut berdua, meski dunia kadang menolak kita. Entah bagaimana kenyataannya nanti.
waallohu a’lam.

Maafkan aku Puteri... Maafkan aku yang hanya bisa menemani mu dari balik pintu.
Maafkan aku yang hanya mampu menyapa mu ditembok hijau yang menjadi saksi bisu kerinduan kita.

Terima kasih atas kehadiran mu dalam hidup ku.
Terima kasih atas cinta mu yang harum.
Terimakasih telah merobohkan keangkuhan ku.
Kau telah mengajarkan banyak hal dalam hidup.
Dengan mu aku mampu menyadari bahwa aku hanyalah seorang hamba yang lemah. Bersama mu aku tau bahwa hidup tak selalu seperti apa yang kita inginkan.
Kini aku mulai menikmati indahnya bertawakkal.
Kau ajarkan aku tentang kemulyaan kerendahan hati, dan ketabahan yang sebelumnya sulit aku mengerti. Dengan sabar kau bersedia membasuh lukaku.
Dengan sabar kau bersedia menunggu ku, dan menahan hasrat hati.
Ketika dunia ku mulai berantakan kau mampu mengingatkan, dan menenangkan ku.
Saat itulah aku mulai merasa bahwa kau telah menjadi bagian yang sulit tergantikan dalam hidup.
Saat itulah aku mulai bertekad untuk menjadikan mu wanita yang paling bahagia setelah ibu.
Namun maafkan aku jika ternyata yang terjadi saat ini sebaliknya. Maafkan aku jika telah membuat mu bersedih.
Ingin ku tebus setiap tetes dari tangisan mu, namun masih saja tak tau dengan cara apa aku harus membayarnya.
Maafkan aku, Puteri…

Kini aku mulai tak mampu menutupi segala yang tersimpan.
Ternyata beban itu terlalu berat untuk ku tanggung sendiri.
Bara itu terlalu panas untuk ku genggam sendiri.
Ingin ku bakar segala yang ada didepan ku, termasuk diri ku sendiri. Namun sejuta tangan selalu menahan ku.

Maafkan aku, jika kali ini aku berbagi kesedihan. Sungguh. aku mulai tak mampu  menjadi penipu. Ratusan hari aku bersembunyi dari mu, meskipun disatu sisi aku terus memikirkan mu.
Berjam2 aku habiskan untuk membaca tulisan mu, membaca segala percakapan kita.
Melupakan sejenak gejolak hidup yang melelahkan.
Berhari2 aku coba untuk memulihkan diri dari perasaan sakit.
Hingga akhirnya keadaan harus memaksa ku untuk rehat dirumah selama beberapa bulan.
Tak ada yang tau, dan tak ada yang ingin ku beri tau ada apa dibalik semua itu. Termasuk kamu.
Biarlah aku dan Tuhan ku yang mengetahuinya.
Maaf jika dulu aku bersikap keras kepada mu, mengacuhkan mu.
Aku hanya ingin membantu mu melupakan ku, meskipun disatu sisi aku sangat tersiksa, karena bagaimanapun juga aku tak mampu mengacuhkan cinta yang mendekap ku.
Bahkan aku rela kau membenci ku, asalkan pearsaan itu tak lagi menghambat langkah mu.
Aku sudah tak perduli dengan sakit yang aku derita.
Bagaimanapun juga aku harus mampu menahannya asalkan engkau bahagia.
Maafkan aku jika pada hari kelahiran mu aku tak hadir menyapa mu. Karena aku hanya ingin menyapa mu lewat doa dengan Tuhan ku.
Aku tidak sama dengan mereka.
Aku yakin kau sepenuhnya mengerti.

Maafkan jika dulu aku terpaksa meninggal kan mu, Puteri.
Sungguh bukan karena merasa kau tak berarti lagi.
Aku hanya ingin menjaga mu dari prahara dunia ku.
Aku tak ingin menyibukkan mu dengan segala masalah yang menimpa ku.
Meskipun terlihat sangat tidak adil, namun aku merasa itu lebih baik sebelum terlalu jauh menyakiti mu.
Tadinya aku berfikir semuanya akan baik2 saja, dan berjalan mudah seperti yang sebelumnya.
Aku berfikir kau akan segera bebas dari perasaan yang mengganggu mu selama dengan ku.
Namun semuanya malah justru menjadi semakin runyam, semakin tak ku mengerti., dan semakin tak terkendali.


Kian hari aku semakin merasa bahwa semuanya diluar batas kemampuan ku.
Meskipun aku terus berusaha tegar, namun tetap saja terasa lemah, dan melelahkan.
Bukan  hanya karena memikirkan keadaan mu, namun juga karena memendam perasaan yang tak mereka mengerti.

Kini kita hanya seperti sepasang ikan yang hidup dimangkuk kecil. Kita butuh pengakuan, Putri…
Biarkan aku berteriak lantang menembus semua genderang bahwa aku mencintai mu.
Biarkan mereka mengerti bahwa kita ingin saling memiliki.
Entah sampai kapan aku mampu terus bertahan hitam menipu diri, Puteri…

Jangan kau kira aku tak memikirkan jalan untuk kita bersama.
Jangan kau kira aku tak perduli dengan segala yang terjadi diantara kita.
Diam2 aku terus memikirkannya.
Diam2 aku terus menangisinya dalam doa.
Mencari cara, dan celah dari jalan yang Allah takdirkan untuk kita.
Jika kau tau, sudah terlalu banyak kekhawatiran, dan mimpi yang tertelan doa dan kesunyian…Puteri.

Kemarin aku coba beranikan diri untuk matur kaleh ibu.
Dengan sehalus mungkin aku menyampaikannya.
Dan tak ku sangka, kali ini Ibu menanggapinya berbeda dari yang sebelumnya.
Dengan tenang beliau mendengarkan ku berbicara.
Dengan sabar ibu menunggu ujung dari apa yang aku ungkapkan.
Bahkan diluar dugaan ku, ibu mulai menanyakan mu.
Aku merasa itu bukan sekedar pertanyaan seorang ibu yang ingin membahagiakan anaknya, melainkan pertanyaan ketertarikan dan ketulusan.
Jujur, seketika itu juga air mata ku menertawakan ku lagi. Kali ini aku tak ingin menahannya. Biarkan dia keluar bersama letih yang kian mendidih.
Bahkan sesekali ibu mulai menggoda ku.
Lebih dari dua jam aku menceritakan semua tentang kamu, dan keluarga mu sebatas yang aku mengerti. Ibu pun selalu menanggapinya.
Aku coba beranikan untuk mengungkapkan hal2 yang selama ini hanya aku dan Tuhan ku yang tau, karena aku juga manusia biasa yang penuh dengan kelemahan.
Dan satu hal yang mampu membuatku cukup lega adalah ketika ibu bilang “ yo wes, engko tak cerito karo Bapak, dirembuk disek “.
Kalimat itu terdengar bukan sekedar ungkapan, melainkan memikirkan suatu jalan untuk kita.
Alhamdulillah beban yang tersimpan selama ratusan hari kini mulai terluapkan dengan tenang, tanpa menyinggung perasaan beliau.
Bahkan Ibu mulai bersedia terbuka menjadi tempat curahan hati ku.

Dulu setelah kita memutuskan untuk berpisah, aku berdoa semoga perpisaahan ini adalah awal dari penyucian diri untuk bertemu kembali.
Bukannya aku bermaksud menjanjikan mu sesuatu, namun semenjak itu aku mempunyai ‘azm; sebelum engkau memilih yang lain, aku tak akan melaksanakan akdunnikah dengan wanita manapun. Karena selama itu juga aku selalu merasa bahwa mimpi itu masih terlalu indah untuk aku tanggalkan, dan masih sangat mungkin untuk menjadi kenyataan atas kehendak Nya.
Aku tak ingin menghapus mimpi itu.
Biarkan dia bermuara pada tempat dimana ia digariskan.

Mimipi itu kini mulai bersemi kembali.
Semoga ini adalah awal dari jawaban atas segala doa, dan ketabahan kita. Semoga memang demikian adanya…amiin.
Doakan aku, semoga saja aku diberi kemampun untuk membenahi benang2 yang telah kusut ini. Membetulkan segalanya yang kian berantakan, tanpa harus ada pihak2 yang merasa terlalu tersakiti, untuk mewujudkan kenyataan dari mimpi kita menempuh kehidupan Robbani.

Dan mulai detik ini aku ingin berhenti merokok.
Bukan karena aku bosan dengan tembakau, atau karena memperdulikan kesehatan ku, melainkan karena ingin menuruti keinginginan dua wanita yang berarti dalam hidup ku; Ibu dan Kamu.
Doakan saja semoga sebatang gudang garam ini menjadi asap terakhir yang ku hisap.

Yaa Alloh yaa Ilaahana…
Kita tak butuh kemegahan, karena dunia kita sederhana dan bersahaja.
Kita juga bukan raja dan ratu, namun yang kita inginkan sederhana, hidup bersama layaknya sepasang hamba yang hidup dengan ridlo Sayyidnya.
Maka aku mohon dengan segala kelemahan, dan kerendahan hamba, izinkan kami hidup bersama dengan rahmat dan ‘inayah Mu.

Wa ufawwidhu amriy ilaalloha innalloha basiirun bil’ibaad.