Senin, 09 April 2012

Negeriku, ah..

Istora, 18 maret 2012                   14.30 WIB

Sore itu hawanya panas sekali, atau barangkali memang seperti inilah hawa Jakarta setiap hari. Sekeluarnya kami dari ruang pameran itu telah kami putuskan untuk istirahat sejenak di depan gerbang nanti, sembari mencari es atau apapun yang dapat memuaskan dahaga kami.
Kami pun mulai berjalan melewati halaman Gelora Bung Karno yang luas itu.
"capek..." keluhku pada temanku. ia pun hanya meringis. Mungkin ia berpikir hanya sebatas yang terlihat saja. Backpack yang penuh terisi buku-buku yang baru saja ku beli, mukena, serta barang lain yang mungkin perlu dibawa memang telah bertengger di punggungku sedari tadi, dan memang punggungku sudah mulai pegal, tapi lebih dari itu rasa lelahku dari dalam sini (hatiku). Pikiranku mulai melayang-layang. Pada awalnya memang biasa saja, dan seharusnnya memang menjadi terbiasa dengan tetap acuh menutup mata dan telinga, tapi kurasakan tidak kali ini. Aku benar-benar lelah, aku bosan mendengar gunjingan, aku risih melihat selisih, dan aku tak sudi lagi mendengar caci maki. Aku seolah berada dalam lingkaran setan yang memuakkan, sampai rasanya ingin muntah. Bahkan aku terkadang merasa sesekali terjerembab dalam kubangan buatan setan-setan laknat itu, yang diiringi tepuk tangannya yang meriah, memekakkan gendang telingaku, hingga memaksa kelenjar lakrimalisku memuntahkan isinya.
"aku ingin pulang..." desahku dalam hati.
Tak terasa kami sudah sampai di gerbang. Mataku pun langsung mencari- cari sesuatu.
"gimana nih, gak ada yang jualan es.." kata temanku tiba - tiba. Tapi mataku masih saja tak berhenti mencari-cari, hingga sejurus kemudian ekor mataku menangkap satu sosok setengah baya di balik gerobaknya yang bertuliskan "es cendol". Wajahku pun menjadi berseri-seri dengan mata yang berbinar, mungkin seperti anak kecil yang merengek-rengek ingin permen lalu kemudian ada penjual permen yang lewat.
"itu ada es tukang cendol, yuk..." Ajakku pada temanku seraya tersenyum senang. Kemudian kami berjalan menuju bapak itu.
"es cendolnya dua ya pak, yang satu gak pake alpukat.." pesanku mantap.
Belum sempat bapak itu menjawab ada seseorang yang tiba-tiba memperingatkan, tapi tak dapat kupahami tentang apa. Sedetik kemudian rona muka bapak itu berubah menjadi gusar, sepertinya ia mencoba menutupi kegusarannya dengan tetap terlihat tenang sambil masih melayani kami dan beberapa pembeli lainnya. Tapi tatapan mata dan tangannya yang mulai gemetaran itu tak mampu membohongiku.
"ada apa ini?" tanyaku dalam hati.
Sementara pedagang yang lain sudah mulai lari tunggang langgang, bahkan bapak dengan perawakan gempal dengan gerobaknya yang bertuliskan "Soto Gebrak Khas Surabaya" itu pun begitu saja meninggalkan pelanggannya yang masih makan, dan kulihat juga ada beberapa kursinya yang tertinggal.
"SATPOL PP...." ku dengar seseorang menngucapkan kata itu, terjawab sudah pertanyaanku.
Suasana sore yang ingin ku nikmati seketika berubah menjadi mencekam bagi para pedagang itu.
Akhirnya bapak tukang es cendol tadi menyerah, "maaf ya dik..." ia berucap sambil buru-buru pergi meninggalkan kami yang belum sempat dilayani. Aku tertegun memandanginya pergi. Bapak itu menginngatkanku pada bapakku di kampung, jika ku tebak mungkin seusia dengan bapak atau mungkin lebih tua, dan jika ku amati dari sorot mata dan tubuhnya menandakan bahwa ia pekerja keras, sama seperti bapak. "Ah, bapak...." desahku perlahan.
Tiba-tiba bapak tadi melambai-lambai ke arah kami, sepertinya belum rela melepaskan rejeki yang akan diperolehnya melalui kami. Ternyata bapak penjual es tadi belum pergi, ia masih berada di tepi jalan sambil sesekali celingukan mencari-cari sesuatu atau lebih tepatnya memastikan sesuatu. Aku yang tersadar dari lamunan sesaatku langsung menarik temanku ke arah bapak itu. beberapa detik kemudian ia menyerahkan 2 gelas es cendol kepada kami dengan tangannya yang masih gemetar.
"berapa pak ? " tanyaku. "biasa, limang ewu.. " Jawabnya dengan logat jawa, kini suaranya yang bergetar. Sekarang aku tau bahwa bapak itu juga orang perantauan, sama sepertiku.
"mari pak..." pamitku sambil berlalu. Sejenak kemudian kembali ku balikkan badanku, tertegun memandangi sosok paruh baya itu.
Beberapa saat berselang tiba-tiba bapak itu berlari-lari sambil menarik gerobaknya, ia berlari sekuat tenaga, menoleh ke kanan dan kiri, kemudian menyeberang jalan ke arah berlawanan sehingga sedikit mengganggu kendaraan yang berlalu lalang, sementara sudah terlihat mobil Satpol PP yang jaraknya semakin dekat dengan bapak itu. Kini aku yang mulai ikut panik, kakiku pun mulai gemetar. Aku terus berdo'a dalam hati agar bapak tadi bisa lolos, sedangkan jarak antara Satpol PP dengan bapak itu semakin dekat, bahkan mobilnya sudah berada di depan bapak itu. Harap-harap cemas, sekarang seluruh perhatianku tertuju pada sosok itu.
Ternyata bapak tadi cukup cerdik, setelah mobil Satpol PP berada di depannya tapi sebelah kiri ruas jalan, sedangkan bapak penjual es cendol yang berada di ruas kanan jalan segera berbalik arah, otomatis dengan lalu lalang kendaraan yang padat akan menyulitkan mobil Satpol PP tadi untuk kembali berbalik arah mengejar bapak itu. Kemudian bapak itu berlari sekencang-kencangnya seraya menarik gerobaknya, ia kembali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk selanjutnya menyeberang jalan kembali, ia seperti tak mempedulikan kendaraan yang lewat. Kejadian tersebut membuat lalu lintas sedikit kacau, tapi aku tidak memusingkan hal itu, yang penting adalah mengetahui bahwa bapak tadi lolos dari kejaran Satpol PP.
Mungkin bapak penjual es itu telah melanggar peraturan, tapi aku tidak peduli, aku hanya melihatnya dari sisi kemanusiaan, karena aku yakin dan bahkan sangat yakin sekali bahwa bapak itu tidak ada niat yang lain melainkan hanya sekedar mencari uang untuk menafkahi keluarganya di rumah. Apalagi untuk mengotori jalanan, bahkan aku tak pernah membayangkan bahwa seseorang yang merantau begitu jauh hanya berniat untuk mengotori jalanan. Aku merasa bahwa bapak penjual es tadi hanya satu dari sekian banyak orang yang berharap dapat mengubah nasib dengan merantau ke Ibukota yang bagaikan gula, yang dapat menarik semut dimanapun berada, dan juga yang "dipercaya" masih menjanjikan begitu banyak peluang kerja.
Membicarakan soal  peraturan dan hukum, dalam hatiku selalu bertanya-tanya, "masih tegakkah hukum di negeriku yang katanya negara hukum ini? ataukah justru hukum dijadikan sebagai perisai bagi mereka yang "berkuasa" untuk dapat makan uang rakyat seenaknya? atau mungkin negeriku ini juga dalam proses penjualan? apakah hanya tinggal menunggu waktu?"
Ah, aku tak mengerti, bukankah mereka yang berada di balik gedung perwakilan yang mengatas namakan dirinya "wakil" rakyat itu mengerti betul tentang hukum, peraturan juga perundang-undangan??. Tapi mengapa justru sebagian besar dari merekalah yang melanggarnya, melanggar sumpah janjinya?? atau jangan-jangan pada saat pengucapan sumpah janji itu mereka sedang tidur persis seperti pada saat-saat sidang itu??. Lalu apakah jika mereka melanggar hukum akan dikejar-kejar seperti para pedagang yang dikejar-kejar Satpol PP tadi?? aku yakin jawabannya adalah TIDAK !!!
Sepertinya hukum di negeriku ini memang telah dan hanya menjadi milik orang yang ber-kuasa dan ber-uang. Masih teringat jelas sekali kisah si mafia pajak itu, bagaimana mungkin seorang tahanan sel bisa dengan leluasa berleha-leha menonton pertandingan olahraga di Istora dengan memakai wig serupa Burisrawa seraya berkacamata serupa Afgan, jika tidak dengan membeli (oknum) hukum itu sendiri.
Ah, ternyata hukum di negeriku ini memang benar-benar sudah terbeli, tidak ada lagi kata persamaan hak dalam memperoleh perlakuan hukum, meruncing ke bawah, dan benar-benar tumpul ke atas. Menyedihkan !
Batinku bergemuruh hebat dan aku merasa sedikit geram bercampur iba hingga ku rasakan ada buliran air yang hampir tumpah di sudut mataku dengan masih memandangi sosok penjual es itu berlari, berlalu pergi hingga tak terlihat lagi. Lalu tiba-tiba saja ulu hatiku terasa ngilu, entah karena belum makan atau karena keadaan ini, yang jelas rasanya sangat tidak enak.

Minggu, 08 April 2012

Filosofi Rajawali





Beberapa hari yang lalu saya mengikuti sebuah pelatihan tentang self improvement, dalam pelatihan tersebut ada pembahasan yang cukup menarik tentang pelajaran hidup yang dapat kita ambil dari makhluk yang ada di sekeliling kita, salah satunya adalah tentang 7 prinsip burung rajawali yang akan diuraikan di bawah ini :
  1. Rajawali terbang bersama kelompoknyaRajawali terbang tinggi dengan rajawali lainnya, bukan dengan burung pipit atau jenis burung kecil yang lain, karena tidak ada jenis burung lain yang bisa terbang lebih tinggi kecuali rajawali.
  2. Rajawali tetap terfokus pada visinya & tidak terpengaruh dengan hambatan.Rajawali mempunyai penglihatan yang tajam. Bisa terfokus pada satu benda dari kejauhan hingga 5 km. Apabila terlihat mangsa di lokasi yang jauh, rajawali terus terfokus dan menuju ke lokasi tersebut sampai menangkap mangsa meskipun ada halangan atau hambatan.
  3. Rajawali tinggalkan misi lama dan mulai misi baru
    Rajawali tidak memakan apa yang telah mati, ia mencari mangsa yang  masih hidup untuk dimakannya. Hanya burung gagak yang makan apa yang mati. Itulah perbedaan gagak & rajawali.
  4. Rajawali menghadapi tantangan untuk mencapai keinginan yang lebih tinggi
    Rajawali suka angin topan. apabila awan bergabung dengan angin topan, rajawali bergairah dan langsung naik ke awan. Terbang melayang mengikuti angin mengistirahatkan sayapnya. Bagaimana dengan burung lain? ternyata hanya menyembunyikan diri di dedaunan pohon untuk berlindung !
  5. Rajawali berjuang menghadapi ujian untuk tetap berkomitmen
    Bagaimana sepasang rajawali bisa kawin?
    Ternyata ada ujian dari rajawali betina untuk si jantan !
    Rajawali betina terbang turun ke bumi dikejar rajawali jantan. Sampai di bumi rajawali betina mencatut rantinh di kukunya lalu terbang ke atas yang akan dikejar rajawali jantan. Sampai di atas, ranting dijatuhkan, rajawali jantan akan mengejar ranting itu dan dikembalikan ke betina. Hal ini dilakukan berkali-kali sampai rajawali betina puas dengan kegigihan si jantan, setelah itu barulah terjadi perkawinan.
  6. Rajawali memprioritaskan pola kehidupan keluarga dengan komitmen & tanggung jawab untuk keluarganya
    Rajawali jantan menyiapkan sarang untuk tempat bertelur bagi rajawali betina.
    Bagaimana induk rajawali mengajari anaknya terbang?
    Rajawali betina akan meletakkan anaknya di pinggir jurang. anak rajawali yang masih takut akan kembali ke sarang, namun rajawali betina akan melemparkan anaknya yang belum bisa terbang ke luar sarang sehingga langsung jatuh. Rajawali jantan akan menangkapnya dan membawa balik ke sarang. Proses ini dilakukan berkali-kali sampai anak rajawali berlatih menggerakkan sayap dan mulai terbang sendiri.
  7. Rajawali harus membuang kebiasaan dan sikap negatif, serta terus membangun karakter
    Pada saat umur rajawali memasuki tahun ke 40, paruhnya semakin bengkok, kuku-kuku kakinya semakin tumpul dan bulu rajawali akan menjadi tebal dan berat, sehingga tidak layak untuk terbang ke tempat jauh. hanya ada 2 pilihan, bertahan dengan keadaan demikian hingga akan mati perlahan atau berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Lantas bagaimana rajawali menyikapinya?
    Ia akan mencari gua di atas bukit, yang pertama dilakukannya adalah mematukkan paruhnya ke batu hingga patah, kemudian menunggu hingga tumbuh paruh yang baru. tidak berhenti sampai disini, setelah paruh barunya tumbuh kemudian ia mulai mencabut kuku-kuku kakinya satu persatu dengan paruh barunya hingga semua kuku terlepas dan menunggu lagi hingga kuku-kukunya tumbuh. tidak berhenti sampai disini, setelah paruh baru dan kuku barunya tumbuh ia mulai mencabuti bulu-bulunya sampai habis, kemudian menunggu lagi sampai tumbuh bulu yang baru. dan akhirnya ia keluar dari gua dan siap untuk kembali terbang tinggi ke langit. Semua proses ini bukan hanya satu atau dua hari, tapi kurang lebihnya memerlukan waktu 150 hari. proses yang begitu lama dan menyakitkan namun ia jalani dengan penuh ketabahan, kesabaran, kegigihan serta keyakinan.

    Itulah gambaran secara singkat tentang burung rajawali. Jika dianalogikan dengan manusia dapat digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai karakter yang kuat, loyal, berani menghadapi segala macam ujian bahkan berani menerjang tantangan demi menggapai apa yang diharapkan, berkomitmen tinggi, setia serta bertanggung jawab terhadap apapun, terlebih terhadap keluarganya. dan bahkan seperti tak memandang usia, ia tetap mampu terus membangun karakter dan berkarya hingga tua, hingga malaikat maut menyapa.